Minggu, 06 Juli 2014

Don’t Forget Close Your Window



Don’t Forget Close Your Window

Mungkin karena terlalu sering menonton film animasi dari Malaysia itu, yap Up*n Ip*n yang setiap malam tidur dengan keadaan jendela yang terbuka, aku menjadi pengikut kebiasaan itu. Setiap malam jendela kamarku tidak pernah aku tutup. Sejuk rasanya apalagi ketika angin berhembus. Ditambah lagi letak kamarku berada di lantai dua, jadi ketika angin berhembus kencang angin itu aku nikmati sendiri.
Malam ini aku sangat lelah sekali. Aku masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuhku di atas kasurku yang empuk. Saat aku ingin melihat jam di dinding tidak sengaja mataku mengarah ke jendela yang mengarah langsung ke sebuah pohon beringin tua yang besar. Entah apa yang membuat aku semakin menatap pohon itu. Aku tersadar ada seseorang yang sedang berdiri di bawah pohon tua itu. Rambutnya panjang, memakai gaun berwarna putih, tetapi wajahnya tak terlihat olehku karena dia berdiri membelakangiku. Angin dingin berhembus menyelimuti tubuhku. Mataku terpaku ke arah wanita itu. Aku semakin penasaran, sampai-sampai kepalaku kini sudah keluar dari jendela hanya untuk melihat siapakah wanita itu. Aku terus menatap ke arahnya. Dan tiba-tiba saja wajah wanita itu kini tepat berada di depan kedua mataku. Aku terdiam, jantungku mungkin sudah tak berdetak dan darahku sudah tidak mengalir lagi karena aku ketakutan luar biasa. Wajahnya hancur seperti baru saja dia kelindas truk besar. Darah terus mengalir dari kedua matanya yang hampir lepas dari tempatnya itu. Dengan rahang yang sudah tidak menyatu itu, aku dapat melihat apa yang ada di dalam mulutnya, darah segar terus keluar dari mulutnya. Ingin rasanya aku teriak untuk meminta tolong pada Ayah dan Ibuku. Namun aku terus terpaku pada wajah wanita itu. Dan seketika itu juga jendela kamarku tertutup sendiri dengan kencang hingga aku terpental ke dalam kamarku dan aku merasakan sakit yang amat sangat pada dahiku.
Hari sudah pagi, rupanya semalam aku pingsan karena benturan dari jendela. Ku lihat dahiku di kaca, dan baik-baik saja. Semalam itu nyata atau hanya mimpi? Aku baik-baik saja sekarang. Hanya itu yang ada di fikiranku. Aku membuka tirai jendela yang menghalangi pemandanganku. Setelah melihat apa yang ada di balik jendela kamarku itu sontak aku terdiam memikirkan kejadian semalam.

Ide cerita by Danang Hadi Wijaya
Dengan sedikit pengubahan

Jumat, 04 Juli 2014

CONSCIOUSNESS



CONSCIOUSNESS

Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba aku sudah berada di tengah hutan belantara ini. Aku mencoba untuk menelusuri hutan ini dan mencoba untuk keluar. Entah sudah berapa lama aku berjalan sendiri seperti orang yang kebingungan, tetapi tetap saja aku tidak menemui jalan keluar. Dan hanya sebuah perkampungan kecil yang aku temui. Ku coba untuk memasuki perkampungan itu, berharap ada petunjuk untuk keluar dari hutan ini, karena aku ingin segera pulang ke rumah.
“Mas, maaf nama saya Mentari,”
“oh iya, nama saya Jono. Ada apa ya mba?”
“ehm ini saya mau tanya, jalan raya menuju ke Jakarta ada dimana ya? Saya tadi sudah muter-muter tapi tidak ketemu”
“sebaiknya anda tanya dulu sama mas Arya, itu rumahnya yang paling besar.”
“oh iya makasih ya mas”
Aku hanya menatapi dari ujung sampai ujung bangunan yang sangat indah itu. Bentuknya seperti istana, indah sekali dengan taman bunga yang bermekaran di sekitarnya. Aku mencoba memasuki rumah itu.
“ada apa nona cantik datang ke rumah ku?”
“eehh saya ingin menemui Arya, adakah dia di sini?”
“dia tepat sekali berada dihadapanmu”
Sungguh Arya jauh sekali dengan apa yang aku bayangkan. Dia gagah dan juga rupawan.
“maaf, saya ingin bertanya pada anda. Apakah anda tau jalan keluar dari kampung ini?”
“tunggu dulu, aku belum mengetahui namamu.”
“oh iya namaku Mentari”
“nama yang indah. Iya aku tahu jalan keluar dari sini. Tapi apa kamu yakin akan cepat-cepat ingin pergi dari sini? Apa kamu tidak ingin melihat tempat-tempat yang indah di sini?”
Ingin rasanya aku mengatakan tidak. Namun entah hipnotis dari mana aku mengiyakan tawaran tersebut, aku tinggal di rumah Arya sekarang. Setiap hidangan yang disugukan adalah makanan-makanan yang sangat lezat. Aku sendiri tidak tau apakah Arya itu raja atau bukan. Setiap kali aku bertanya soal itu Arya selalu bilang itu tidak penting untuk aku ketahui.
Setiap hari kami selalu mengunjungi tempat-tempat yang memang sangat indah. Aku sendiri tidak mengerti mengapa tempat tersebut ada di tengah-tengah hutan yang menyeramkan ini. Dan akupun tidak tau tempat ini ada di daerah mana. Apakah sangat jauh dari Jakarta atau hanya didekat Jakarta.
Setiap kali mengunjungi tempat-tempat indah itu entah kenapa Arya selalu bilang padaku
“jangan kamu menoleh ke belakang saat kamu hendak pergi dari tempat yang telah kamu kunjungi”
Kita selalu pergi berdua. Tak ada pengawal dan tak ada siapapun. Padahal tempat-tempat itu sangat indah, mengapa tidak ada satupun orang yang mengunjunginya. Aku menyadari ada hal yang berbeda pada diriku saat ini, entah apa aku tidak bisa menerjemahkan apa yang aku rasakan. Apa mungkin aku jatuh cinta pada Arya? Aku rasa tidak, dia seseorang yang terpandang di sini, sedangkan aku hanya orang baru yang tersesat di hutan dan tiba-tiba datang di kampung ini.
Saat makan malam, aku bingung harus menghabiskan makanan yang mana, karena ada banyak sekali makanan yang diletakkan di atas meja ini. Bagaikan tamu istimewa yang datang diacara resmi kerajaan dan dihidangkan makanan super mewah.
“Mentari, aku boleh bertanya sesuatu padamu?”
“oh silahkan saja”
“apakah kamu sudah mempunyai seorang kekasih?”
“hah? Eehh untuk saat ini belum, memang ada apa Ya?”
“aku berniat untuk melamarmu”
Seketika jantungku mendadak berhenti. Aku terpaku, terdiam, bingung apa yang harus aku katakan. Namun dibalik itu semua aku melontarkan senyumku dihadapan Arya. Dan Arya pun membalas senyumanku. Aku tidak mengerti apa yang sudah aku perbuat, mengapa bibir ini dengan tidak sadarnya membuka senyuman untuk hal yang aku sendiri bingung harus bagaimana. Tetapi tak ada penyesalan yang aku rasakan untuk senyuman tadi. Apa memang benar aku mencintai Arya?
Setelah malam itu berlalu, hari-hariku bersama Arya semakin berwarna, aku merasakan kebahagiaan yang amat luar biasa, bahkan tidak pernah aku merasakan bahagia seperti ini. Hari terus berlalu, hingga suatu pagi aku melihat Arya sedang ngobrol bersama dua orang yang aku rasa mereka adalah kedua orang tuaku. Dan memang benar mereka orang tuaku. Aku bingung mengapa mereka tiba-tiba bisa berada di sini. Tetapi pikiran itu seketika menghilang. Ternyata mereka sedang membicarakan soal pernikahan. Orang tuaku setuju aku menikah dengan Arya. Dan besoklah hari pernikahanku dengan Arya.
Hari ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Hari dimana inilah pengucapan janji suci sebuah pernikahan. Aku tidak mengerti mengapa semua keluargaku dan teman temanku sudah berkumpul di sini. Kami sempat bercanda tawa sejenak sebelum acara sacral ini dimulai. Saat ini jantungku berdebar-debar, aku mulai khusyu mendengar suara Arya yang dengan lantangnya mengucapkan sebuah ikrar. Lega rasanya.
Kini kami semua sedang berdo’a, namun apa yang terjadi. Setelah aku mengucap Aamiin dan membuka mataku, kini seolah aku sedang berada di tempat yang terkutuk. Semuanya berubah. Mulai dari teman-temanku, penghulu, dan orang tuaku. Dan Arya yang berada di sampingku kini berubah menjadi setan yang seluruh wajahnya rusak. Dengan mata kanan yang keluar dan mata kiri yang sudah bolong, mulutnya pun setengah sobek. Dia terus melihatku, aku ketakutan dan kini aku sendiri orang tuaku telah berubah menjadi setan atau mungkin mereka adalah zombie. Aku berlari menjauh dari mereka. Aku pergi ke tempat yang dulu pernah aku kunjungi bersama arya, mungkin disitu aku bisa menghindar. Namun kenyataannya tempat itu tidak ada, pohon yang dulu berbuah lebat berubah menjadi pohon yang tidak berdaun dengan penuh tengkorak bergelantungan. Aku terus berlari, hingga akhirnya aku menyerah. Aku kini berada di tepi lubang besar dan dipenuhi dengan tulang belulang manusia. Baunya pun sangat busuk. Dan aku teringat, tempat ini yang dahulu aku kunjungi. Sebuah danau yang indah dengan aroma bunga-bunga yang harum. Apa ini? Apa arti semua ini? Aku sangat ketakutan. Aku tidak tahu harus kemana dan bagaimana. Aku pasrah dengan semua ini. Aku sangat kaget ketika ada tangan yang menepuk pundakku. Tangan siapa ini? Dan ternyata Arya. Aku ingin berlari menjauhinya. Namun aku sudah kelelahan.
“Arya aku mohon jangan bunuh aku” pintaku sambil menangis ketakutan.
“Tenang, kamu ingin hidup?”
“iya aku ingin hidup”
“hidup sendiri?”
“iyaaa”
“baiklah kami semua akan menghilang esok pagi saat kamu telah bangun dari tidurmu. Dan kamu akan hidup sendirian di sini.”
Itu kata terakhir dari Arya. Kini 5 tahun sudah aku hidup sendiri di sini. Tidak ada orang lain. Sunyi senyap sudah hal yang biasa bagiku. Hingga suatu hari aku sedang memasak di dapur, dan terdengar ada yang sedang mengetuk pintu rumahku.

Reverie



REVERIE

Aku adalah anak kebanggaan dikeluargaku. Entah apa ini memang sudah menjadi takdir ku atau ini adalah hasil paksaan atas perintah ayah dan ibuku. Nilai akademik ku bisa dibilang selalu hampir sempurna dan benar saja sebagai laki-laki aku sudah termasuk jenius. Bukan hanya itu, tetapi aku juga menjadi kapten team sepak bola dan basket di sekolahku. Banyak yang ingin menjadi sepertiku, tapi jika mereka tahu inilah penderitaanku mungkin mereka akan bungkam. Dilihat dari luar memang hidup seperti adalah kehidupan yang bahagia, namun pernahkah ada yang berani menengok ke dalam hati ini. Sungguh pahit dan mengerikan bila memang mengetahuinya.
Walau demikian, orang tuaku tetap saja tidak pernah merasa puas atas apa yang aku peroleh. Selalu saja ada kekurangan dan selalu saja mereka bicarakan terus menerus. Ingin rasanya aku mendengar mereka berkata “Nak, kami bangga padamu.” Namun sampai saat ini, sampai aku kini sudah kelas 3 SMA belum pernah aku mendengar kata itu. Sampai suatu ketika aku sudah lelah akan semua ini, hidupku sudah menjadi tak beraturan. Kini aku menjadi remaja yang nakal, menjadi anggota gangster yang selalu terlibat tauran. Untuk belajarpun kini lebih baik main game online. Aku sudah cukup muak untuk terus menuruti perintah orang tuaku yang tidak pernah menghargai aku.
Hingga suatu hari tibalah penentuan kelulusan angkatanku. Ya di Indonesia memang system pendidikannya aneh. Proses pembelajaran yang ditempuh selama 3 tahun hanya ditentukan beberapa hari saja dan pada mata pelajaran tertentu saja. Jika memang seperti itu lebih baik selama 3 tahun hanya focus ke mata pelajaran itu saja. Dan hasilnya aku tetap lulus namun hasil nilaiku sangat memprihatinkan. Siswa yang selalu menjadi juara umum kini mendapat hasil dengan rata-rata nilai 5,5. Sesampainya di rumah aku terus dimarahi dengan ocehan-ocehan gak karuan dari ayah dan ibuku.
“Kamu ingin membuat ayah malu?”
“Ibu kecewa padamu nak”
Asal kalian tau, aku lebih kecewa pada kalian. Kenapa disaat aku jatuh terpuruk seperti ini kalian benar-benar semangat untuk memarahiku. Tetapi kenapa selama 11 tahun kemarin kalian tidak pernah semangat untuk mengatakan “Kami bangga padamu nak” hanya itu yang aku mau. Aku hanya bisa marah dalam hatiku saja. Tak ada gunanya aku marah pada kalian karena kalian hanya peduli pada keterpurukanku dan hanya terus membuat aku terpuruk tanpa memberi aku semangat.
“Kamu tidak ingin membuat kami bangga?”
Perkataan Ayah itu sontak membuat aku berani menjawab.
“Ayah, Ibu, pernahkah kalian berkata kalian bangga padaku disaat aku menjadi juara umum? Pernahkan kalian berkata kalian bangga padaku disaat aku memenangkan berbagai bidang Olimpiade? Apa itu belum membuat Ayah dan Ibu bangga padaku? Dan mengapa Ayah dan Ibu over perduli terhadap kegagalanku sekarang? Mengapa tidak disaat aku menang, disaat aku juara?”
“apa gunanya itu semua bila hasil akhirmu pun seperti ini?”
“Ayah, aku menjadi seperti ini karena aku lelah terus berusaha namun tidak pernah dihargai oleh kalian, tidak pernah dipedulikan oleh kalian. Dan sekarang aku berhasil membuat kalian peduli terhadap apa yang telah aku lakukan.”
Aku berlari menuju kamarku. Aku bukan ingin menangis, tetapi aku hanya ingin meredam emosiku. Aku tidak ingin apa yang telah aku bayangkan akan ku lakukan jika terus berhadapan dengan Ibu dan Ayah. Namun ternyata kamar ini membuat aku semakin membayangkan apa yang sudah aku fikirkan tadi. Bagaimana bila aku mengambil pisau di dapur, pisau kecil yang biasa digunakan Ibu untuk memotong bawang. Dan ujung pisau itu sangat runcing dan tajam. Cocok sekali untuk aku lempar dan tepat mengenai dahi Ibu. Darah yang mengalir deras membuat aku senang dan terus tersenyum. Aku kini membayangkan bagaimana bila aku melempar bola golf dengan bantuan ketapelku untuk membuat lupang di kepala Ayahku, dan saat otak Ayahku keluar aku tertawa lepas karena otak yang ku rasa sangat jenius itu kini hancur.
Oh sudahlah aku sudah melamun cukup ganas kali ini. Kini aku hanya mencuci pisau dan bola golf agar bersih kembali.