Jumat, 04 Juli 2014

Reverie



REVERIE

Aku adalah anak kebanggaan dikeluargaku. Entah apa ini memang sudah menjadi takdir ku atau ini adalah hasil paksaan atas perintah ayah dan ibuku. Nilai akademik ku bisa dibilang selalu hampir sempurna dan benar saja sebagai laki-laki aku sudah termasuk jenius. Bukan hanya itu, tetapi aku juga menjadi kapten team sepak bola dan basket di sekolahku. Banyak yang ingin menjadi sepertiku, tapi jika mereka tahu inilah penderitaanku mungkin mereka akan bungkam. Dilihat dari luar memang hidup seperti adalah kehidupan yang bahagia, namun pernahkah ada yang berani menengok ke dalam hati ini. Sungguh pahit dan mengerikan bila memang mengetahuinya.
Walau demikian, orang tuaku tetap saja tidak pernah merasa puas atas apa yang aku peroleh. Selalu saja ada kekurangan dan selalu saja mereka bicarakan terus menerus. Ingin rasanya aku mendengar mereka berkata “Nak, kami bangga padamu.” Namun sampai saat ini, sampai aku kini sudah kelas 3 SMA belum pernah aku mendengar kata itu. Sampai suatu ketika aku sudah lelah akan semua ini, hidupku sudah menjadi tak beraturan. Kini aku menjadi remaja yang nakal, menjadi anggota gangster yang selalu terlibat tauran. Untuk belajarpun kini lebih baik main game online. Aku sudah cukup muak untuk terus menuruti perintah orang tuaku yang tidak pernah menghargai aku.
Hingga suatu hari tibalah penentuan kelulusan angkatanku. Ya di Indonesia memang system pendidikannya aneh. Proses pembelajaran yang ditempuh selama 3 tahun hanya ditentukan beberapa hari saja dan pada mata pelajaran tertentu saja. Jika memang seperti itu lebih baik selama 3 tahun hanya focus ke mata pelajaran itu saja. Dan hasilnya aku tetap lulus namun hasil nilaiku sangat memprihatinkan. Siswa yang selalu menjadi juara umum kini mendapat hasil dengan rata-rata nilai 5,5. Sesampainya di rumah aku terus dimarahi dengan ocehan-ocehan gak karuan dari ayah dan ibuku.
“Kamu ingin membuat ayah malu?”
“Ibu kecewa padamu nak”
Asal kalian tau, aku lebih kecewa pada kalian. Kenapa disaat aku jatuh terpuruk seperti ini kalian benar-benar semangat untuk memarahiku. Tetapi kenapa selama 11 tahun kemarin kalian tidak pernah semangat untuk mengatakan “Kami bangga padamu nak” hanya itu yang aku mau. Aku hanya bisa marah dalam hatiku saja. Tak ada gunanya aku marah pada kalian karena kalian hanya peduli pada keterpurukanku dan hanya terus membuat aku terpuruk tanpa memberi aku semangat.
“Kamu tidak ingin membuat kami bangga?”
Perkataan Ayah itu sontak membuat aku berani menjawab.
“Ayah, Ibu, pernahkah kalian berkata kalian bangga padaku disaat aku menjadi juara umum? Pernahkan kalian berkata kalian bangga padaku disaat aku memenangkan berbagai bidang Olimpiade? Apa itu belum membuat Ayah dan Ibu bangga padaku? Dan mengapa Ayah dan Ibu over perduli terhadap kegagalanku sekarang? Mengapa tidak disaat aku menang, disaat aku juara?”
“apa gunanya itu semua bila hasil akhirmu pun seperti ini?”
“Ayah, aku menjadi seperti ini karena aku lelah terus berusaha namun tidak pernah dihargai oleh kalian, tidak pernah dipedulikan oleh kalian. Dan sekarang aku berhasil membuat kalian peduli terhadap apa yang telah aku lakukan.”
Aku berlari menuju kamarku. Aku bukan ingin menangis, tetapi aku hanya ingin meredam emosiku. Aku tidak ingin apa yang telah aku bayangkan akan ku lakukan jika terus berhadapan dengan Ibu dan Ayah. Namun ternyata kamar ini membuat aku semakin membayangkan apa yang sudah aku fikirkan tadi. Bagaimana bila aku mengambil pisau di dapur, pisau kecil yang biasa digunakan Ibu untuk memotong bawang. Dan ujung pisau itu sangat runcing dan tajam. Cocok sekali untuk aku lempar dan tepat mengenai dahi Ibu. Darah yang mengalir deras membuat aku senang dan terus tersenyum. Aku kini membayangkan bagaimana bila aku melempar bola golf dengan bantuan ketapelku untuk membuat lupang di kepala Ayahku, dan saat otak Ayahku keluar aku tertawa lepas karena otak yang ku rasa sangat jenius itu kini hancur.
Oh sudahlah aku sudah melamun cukup ganas kali ini. Kini aku hanya mencuci pisau dan bola golf agar bersih kembali.

0 komentar:

Posting Komentar