REVERIE
Aku
adalah anak kebanggaan dikeluargaku. Entah apa ini memang sudah menjadi takdir
ku atau ini adalah hasil paksaan atas perintah ayah dan ibuku. Nilai akademik
ku bisa dibilang selalu hampir sempurna dan benar saja sebagai laki-laki aku
sudah termasuk jenius. Bukan hanya itu, tetapi aku juga menjadi kapten team
sepak bola dan basket di sekolahku. Banyak yang ingin menjadi sepertiku, tapi
jika mereka tahu inilah penderitaanku mungkin mereka akan bungkam. Dilihat dari
luar memang hidup seperti adalah kehidupan yang bahagia, namun pernahkah ada
yang berani menengok ke dalam hati ini. Sungguh pahit dan mengerikan bila
memang mengetahuinya.
Walau
demikian, orang tuaku tetap saja tidak pernah merasa puas atas apa yang aku
peroleh. Selalu saja ada kekurangan dan selalu saja mereka bicarakan terus
menerus. Ingin rasanya aku mendengar mereka berkata “Nak, kami bangga padamu.” Namun
sampai saat ini, sampai aku kini sudah kelas 3 SMA belum pernah aku mendengar
kata itu. Sampai suatu ketika aku sudah lelah akan semua ini, hidupku sudah
menjadi tak beraturan. Kini aku menjadi remaja yang nakal, menjadi anggota gangster
yang selalu terlibat tauran. Untuk belajarpun kini lebih baik main game online.
Aku sudah cukup muak untuk terus menuruti perintah orang tuaku yang tidak
pernah menghargai aku.
Hingga
suatu hari tibalah penentuan kelulusan angkatanku. Ya di Indonesia memang system
pendidikannya aneh. Proses pembelajaran yang ditempuh selama 3 tahun hanya
ditentukan beberapa hari saja dan pada mata pelajaran tertentu saja. Jika memang
seperti itu lebih baik selama 3 tahun hanya focus ke mata pelajaran itu saja. Dan
hasilnya aku tetap lulus namun hasil nilaiku sangat memprihatinkan. Siswa yang
selalu menjadi juara umum kini mendapat hasil dengan rata-rata nilai 5,5. Sesampainya
di rumah aku terus dimarahi dengan ocehan-ocehan gak karuan dari ayah dan
ibuku.
“Kamu ingin membuat
ayah malu?”
“Ibu kecewa padamu
nak”
Asal
kalian tau, aku lebih kecewa pada kalian. Kenapa disaat aku jatuh terpuruk
seperti ini kalian benar-benar semangat untuk memarahiku. Tetapi kenapa selama
11 tahun kemarin kalian tidak pernah semangat untuk mengatakan “Kami bangga
padamu nak” hanya itu yang aku mau. Aku hanya bisa marah dalam hatiku saja. Tak
ada gunanya aku marah pada kalian karena kalian hanya peduli pada
keterpurukanku dan hanya terus membuat aku terpuruk tanpa memberi aku semangat.
“Kamu tidak ingin membuat
kami bangga?”
Perkataan Ayah itu
sontak membuat aku berani menjawab.
“Ayah, Ibu,
pernahkah kalian berkata kalian bangga padaku disaat aku menjadi juara umum? Pernahkan
kalian berkata kalian bangga padaku disaat aku memenangkan berbagai bidang
Olimpiade? Apa itu belum membuat Ayah dan Ibu bangga padaku? Dan mengapa Ayah
dan Ibu over perduli terhadap kegagalanku sekarang? Mengapa tidak disaat aku
menang, disaat aku juara?”
“apa gunanya itu
semua bila hasil akhirmu pun seperti ini?”
“Ayah, aku menjadi
seperti ini karena aku lelah terus berusaha namun tidak pernah dihargai oleh
kalian, tidak pernah dipedulikan oleh kalian. Dan sekarang aku berhasil membuat
kalian peduli terhadap apa yang telah aku lakukan.”
Aku
berlari menuju kamarku. Aku bukan ingin menangis, tetapi aku hanya ingin
meredam emosiku. Aku tidak ingin apa yang telah aku bayangkan akan ku lakukan
jika terus berhadapan dengan Ibu dan Ayah. Namun ternyata kamar ini membuat aku
semakin membayangkan apa yang sudah aku fikirkan tadi. Bagaimana bila aku
mengambil pisau di dapur, pisau kecil yang biasa digunakan Ibu untuk memotong
bawang. Dan ujung pisau itu sangat runcing dan tajam. Cocok sekali untuk aku
lempar dan tepat mengenai dahi Ibu. Darah yang mengalir deras membuat aku
senang dan terus tersenyum. Aku kini membayangkan bagaimana bila aku melempar
bola golf dengan bantuan ketapelku untuk membuat lupang di kepala Ayahku, dan
saat otak Ayahku keluar aku tertawa lepas karena otak yang ku rasa sangat jenius
itu kini hancur.
Oh sudahlah aku sudah
melamun cukup ganas kali ini. Kini aku hanya mencuci pisau dan bola golf agar
bersih kembali.
0 komentar:
Posting Komentar